25 Apr 2011

Persaingan Tenaga Kerja dalam Era Globalisasi

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai warga Negara Indonesia kita sering mendengar, melihat dan merasakan tentang ketenagakerjaan diindonesia amatlah memprihatinkan karena dari beberapa orang yang menjadi buruh, pelayan, dan masih banyak lagi macamnya sering tertindas baik itu secara fisik dan mental. Sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan haknya sebagai tenaga kerja yang dilindungi dan diatur oleh undang-undang Negara.
Berdasarkan GBHN 1999-2004, Tujuan pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; yang didukung oleh manusia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan; menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.(Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN 19999-2004, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.)
Dari tujuan tersebut tercermin bahwa sebagai titik sentral pembangunan adalah pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk tenaga kerja, baik sebagai sasaran (obyek) pembangunan , maupun sebagai pelaku (subyek) dan penikmat pembangunan. Dengan demikian pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Secara umum permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi saat ini antara lain pengangguran yang cukup tinggi, kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja yang relative rendah, serta belum memadainya perlindungan terhadap tenaga kerja termasuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri, selain masih besarnya jumlah masyarakat penyandang kemiskinan. Beban ini semakin tidak ringan dengan dihadapkannya bangsa ini pada era globalisasi, yang disatu sisi merupakan peluang, namun di lain sisi dapat menjadi ancaman bila tidak mempersiapkan diri.
Dalam era globalisasi yang dikenal dengan liberalisasi ekonomi atau perdagangan bebas khususnya bidang jasa tenaga kerja, tenaga kerja Indonesia dituntut harus mampu bersaing dengan tenaga kerja dari Negara lain. Persaingan bagi tenaga kerja diluar negeri, yang apabila tidak ditingkatkan kualitasnya maka kesempatan kerja yang ada didalam negeripun akan diisi oleh tenaga kerja asing yang lebih baik dan lebih berkompeten. Dalam arus perdagangan bebas akan terjadi persaingan antar Negara yang semakin ketat dan setiap Negara dituntut untuk dapat berkompetisi. Agar hasil produksi barang dan jasa meningkat dan dapat bersaing, maka efisiensi dalam proses produksi perlu menjadi persyaratan utama yang harus dilakukan. Dan kata kunci dari efisiensi, adalah penggunaan teknologi yang tepat dan dikuasai oleh SDM yang ada. Oleh karena itu dalam perdagangan bebas pembangunan SDM menjadi sangat penting, terutama SDM sebagai pelaku pembangunan atau tenaga kerja. Untuk itu, dalam menghadapi globalisasi di bidang jasa tenaga kerja, bagaimana meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia guna mendukung suksesnya pembangunan nasional merupakan pokok permasalahan yang perlu dirumuskan kebijaksanaan, strategi, dan upayanya.

1.2 Landasan Pemikiran
a). landasan Idiil
Pancasila sebagai obyek pemikiran kefilsafatan adalah untuk mengetahui sedalam-dalamnya sampai pada hakekat kehidupan yang paling dasar. Salah satu tujuan bangsa dan Negara Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam pancasila sila kelima, yaitu mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Oleh karena itu semua Warga Negara Indonesia wajib secara bersama-bersama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan. Begitu juga dalam pembangunan nasional di era globalisasi yang semakin kompetitif tehadap Negara-negara lain, maka sumber daya alam Indonesia tidak akan dapat memberikan kemajuan kepada bangsa dan Negara apabila kualitas tenaga kerjanya masih rendah dan tidak mampu mengelola sumber daya alamnya.
b). Landasan Konstitusional
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional sudah berlaku sejak satu hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2, Pasal ini menjelaskan bahwa semua orang warga Negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan bekerja, serta memperoleh pendapatan, guna menjalankan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (sejahtera). Pasal 28 C ayat 1, 2 dan 10 menjelaskan bahwa agar dapat bekerja dan memperoleh derajat penghidupan yang lebih baik dan layak di era globalisasi saat ini, maka kualitas SDM harus menghadapi tantangan itu baik dari segi sikap, pengetahuan, maupun keterampilannya.
c). Landasan Visional
Wawasan Nusantara (WASANTARA) adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai dirinya yang serba beragam dan lingkungannya yang serba berubah, serta bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan bangsa dan kesatuan wilayah.
d). Landasan Konsepsional
Katahanan Nasional (Tannas) adalah kondisi dinamis bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional.
e). Landasan Operasional
1. GBHN 1999 - 2004
Arahan GBHN 1999-2004 di bidang ekonomi, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, khususnya peningkatan kualitas tenaga kerja menghadapi persaingan global.
2. Propenas 2000 – 2004
Prioritas Pembangunan Nasional adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan system ekonomi kerakyatan. Program-program pembangunan ketenagakerjaan dalam rangka peningkatan kualitas tenaga kerja antara lain dengan Program Perluasan dan pengembangan Kesempatan kerja. Dan Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga kerja.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.yang secara khusus mengatur tentang Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan serta pelatihan kerja. Perencanaan Tenaga Kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi: Penduduk dan Tenaga kerja, kesempatan Kerja, Pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja, Produktivitas tenaga kerja, Hubungan industrial, Kondisi lingkungan kerja, Pengumpuhan dan kesejahteraan tenaga kerja serta jaminan sosial tenaga kerja.






1.3 Tujuan dan Manfaat
a) Tujuan
1. Memahami dan Mengerti tentang kondisi dan perkembangan tenaga kerja Indonesia baik dalam dan luar negeri di era globalisasi.
2. Agar setiap pembaca dapat berfikir kritis akan masalah-masalah tenaga kerja Indonesia yang sekarang ini banyak sekali dihadapi.
3. Mengetahui sejauh mana dunia ketenagakerjaan di era globalisasi.
b) Manfaat
1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada pembaca terhadap berbagai permasalahan tenaga kerja Indonesia.
2. Bahan tambahan pengetahuan/pengalaman dengan penulis dan pembaca atas persaingan tenaga kerja dalam era globalisasi.
3. Bahan acuan dan informasi tambahan kepada pembaca makalah ini yang mengkaji hal yang relevan dengan topik makalah ini.

1.4 Rumusan Masalah
1. Suatu kondisi ketenagakerjaan yang bagaimanakah yang ada diindonesia dalam persaingan di era globalisasi ini?
2. Permasalahan apa saja yang dihadapi tenaga kerja Indonesia baik didalam dan diluar negeri yang sering sekali muncul?
3. Mungkinkah perdagangan internasional di bidang jasa akan bisa di terima oleh WTO/GATS dan bagaimana kebijaksanaan di Indonesia terhadap persoalan tersebut?
4. Antisipasi atau pemecahan yang bagaimana yang harus di lakukan Indonesia masalah ketenagakerjaan didalam dan diluar negeri?





BAB 2
RUMUSAN MASALAH

2.1 Kondisi Ketenagakerjaan
Penduduk merupakan modal dasar, pelaku pembangunan sekaligus faktor dominan yang menentukan keberhasilan pembangunan, yang ingin di bangun menjadi kekuatan dan pelaku pembangunan, sekaligus sebagai sasaran yang ingin ditingkatkan harkat dan martabatnya agar dapat menikmati hasil-hasil nyata dari pembangunan. Upaya pembangunan bersumber pada pembangunan manusia seutuhnya, baik sebagai insani maupun sebagai sumber daya manusia. Lingkup pengembangan manusia sebagai sumber daya manusia yang dipersiapkan sebagai tenaga kerja adalah penduduk sebagai sumber daya manusia secara individu.
Sedangkan lingkup pengembangan sumber daya manusia berdasarkan siklus kehidupan penduduk meliputi siklus sejak janin, anak dibawah 3 tahun (batita), anak dibawah 5 tahun (balita), anak, remaja, dewasa dan lansia.

2.1.1 Ketenagakerjaan dalam matra kepndudukan
Dalam penjabaran Undang-Uandang No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera disebutkan bahwa penduduk adalah titik sentral dari segala upaya pembangunan. Tujuan pembangunan kependudukan antara lain adalah ingin meningkatkan harkat dan martabat penduduk agar dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Karena penduduk sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama, maka kualitas, kemampuan serta kekuatannya perlu ditingkatkan sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan. Dalam konteks pembahasan sumber daya manusia, penduduk merupakan persediaan tenaga kerja.
Pengembangan sumber daya manusia terkait dengan proses peningkatan kemampuan manusia. Proses tersebut dikonsentrasikan secara merata pada peningkatan formasi kemampuan-kemampuan manusia (Human Development Report 1991). Sedangkan bank dunia (1980) menyatakan bahwa pembangunan sumber daya manusia (human development) merupakan seluruh aktivitas dalam bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan dan gizi, kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan ditempat kerja dan kehidupan politik yang bebas.
Permasalahan pokok pembangunan bidang kependudukan Indonesia tidak hanya karena tingginya angka absolut penduduknya dan laju pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi juga kualitasnya yang relatif rendah, serta belum seimbangnya persebaran penduduk antar regional/wilayah dan pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam pengembangan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk masalah penanganan ketenagakerjaan.

2.1.2 Situasi Ketenagakerjaan
Situasi dan permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia sekarang ini adalah antara lain kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi, serta tingkat kesejahteraan sosial yang rendah. Struktur perekonomian yang dominan pada sektor pertanian dalam arti luas ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pertanian dengan memadai terutama karena produktivitas sektor pertanian pada umumnya rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas sektor pertanian rendah adalah kualitas SDM di sektor pertanian yang pada umumnya rendah, lebih rendah dari kualitas SDM di sektor industri. Rendahnya kualitas SDM di sektor pertanian tercermin pada tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini.
Dari tabel ini bisa memperlihatkan bahwa, sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian paling rendah, yaitu di bawah Rp.2 juta perkapita per tahun. Sedangkan tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi di sektor pertambangan, listrik, gas, dan air. Bila tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian mempunyai kualitas, tentu akan berpindah ke sektor lain yang lebih menjanjikan.








Tingkat Produktifitas Tenaga Kerja Persektor Usaha
Tahun 1997 – 2002 (Juta Rp/Kapita)
No Uraian 1997 1998 1999 2000 2001* 2002**
1 Pertanian, Kehutanan, Perburuan, perikanan 1.85 1.61 1.69 1.62 1.67 1.674
2/4 Pertambangan, Listrik, Gas dan Air 39.60 52.43 47.02 86.84 41.88 58.368
3 Industri Pengolahan 9.78 9.60 8.60 9.03 9.07 9.387
5 Bangunan 8.45 6.38 6.45 6.65 6.30 5.909
6 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel 4.34 3.58 3.43 3.43 3.82 3.895
7 Angkutan, Pergudangan, Komunikasi 7.70 6.49 6.37 6.43 7.08 7.201
8 Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan 58.69 45.78 41.41 31.03 25.00 30.213
9 Jasa-Jasa/servise 3.02 2.94 3.04 3.97 3.52 3.822










Sumber : Profil Sumber Daya Manusia Indonesia 2002 dan hasil olahan dari statistic Indonesia 2002, BPS.
Keterangan : PDB Atas Dasar Harga Konstan 1993
*) Data Sementara
**) Data Sangat Sementara

Suatu ilustrasi pada tahun 2003 pemerintah telah menempatkan TKI sekitar 294 ribu orang, turun di bandingkan tahun 2000. Rincian penempatan TKI berdasarkan kawasan adalah seperti tabel di bawah ini.
Isu utama berkenaan dengan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah masih tingginya migran tanpa dokumen yang syah (illegal), yang menyebabkan timbulnya berbagai masalah, dan juga masalah yang menyangkut perlindungan tenaga kerja termasuk perlindungan terhadap para tenaga kerja wanita yang banyak bekerja pada informal sektor. Berbagai upaya pembenahan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara berarti mempengaruhi berkurangnya jumlah TKI yang di tempatkan ke luar negeri.


Penempatan TKI Formal dan Informal
Menurut Kawasan Ke Luar Negeri Tahun 2003
No. Negara Penempatan Formal Informal Jumlah
I ASIA PASIFIK
1. Malaysia 79,268 10,171 89,439
2. Singapura 16 6,087 6,103
3. Brunai Darussalam 654 492 1,146
4. Hongkong 35 3,474 3,509
5. Taiwan 1,590 340 1,930
6. Korea Selatan 7,168 327 7,495
7. Jepang 100 0 100
Jumlah 88,831 20,891 109,722
304186*
II TIMUR TENGAH & AFRIKA
1. Saudi Arabia 924 168,114 169,038
2. Uni Emirat Arab 112 1,363 1,475
3. Kuwait 107 12,161 12,268
4. Bahrain 0 88 88
5. Qatar 2 178 180
6. Oman 94 401 495
7. Yordania 0 226 226
8. Yaman 0 0 0
9. Cyprus 0 0 0
Jumlah 1,239 182,531 183,770
129,219*
III AMERIKA
Amerika Serikat 171 0 171
Jumlah 171 0 171
1,509*
IV EROPA
1. Belanda 30 0 30
2. Inggris 0 0 0
3. Italia 0 1 1
Jumlah 30 1 293,694
359*
Jumlah 90,271 203,426
435,219*




Secara lebih Spesifik beberapa faktor peubah yang berkaitan dengan pokok bahasan dapat digambarkan sebagai berikut:
a). Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan
b). Pelatihan Kerja, Peningkatan Kualitas, dan Produktivitas Kerja.
c). Penempatan Tenaga Kerja
d). Standardisasi Profesi dan Sertifikasi Kompetensi

2.1.3 Problematika
Permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan perencanaan tenaga kerja dan peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dalam kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Tingkat pendidikan penduduk yang rendah merupakan cermin secara keseluruhan dari rendahnya pendidikan tenaga kerja, sehingga melemahkan daya saingnya menghadapi era globalisasi, baik di pasar kerja domestik maupun internasional.
b. UU.No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , baru saja di berlakukan, bahkan regulasi atau pengaturan pelaksanaannya pun masih dalam penyelesaian, sehingga belum ada pedoman baku khususnya menyangkut pelaksanaan perencanaan tenaga kerja serta penyelenggaraan pelatihan dan produktivitas tenaga kerja, baik secara nasional, regional, maupun sektoral. Selain itu ketersediaan data dan informasi baik jenis, kelengkapan, berdasarkan waktu dan daerah masih kurang.
c. Pembinaan Pelatihan yang dilakukan oleh daerah, saling berjalan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan berbagai jenjang kebutuhan karena setiap daerah memiliki otonomi kewenangan dan kebijakan yang berbeda atas pembinaan program peningkatan kualitas dan produktivitas didaerahnya.
d. Belum memadainya kapasitas pelayanan sarana/prasarana pelatihan dan kapasitas SDM instruktur di BLK/LLK didaerah, khususnya dalam menyesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat, apalagi lingkup yang lebih luas. Hal yang sama juga dialami oleh BPPD sebagai lembaga Pembina produktivitas kerja didaerah, mempunyai keterbatasan dalam melayani jenis usaha yang sangat bervariasi dan wilayah yang cukup luas.
e. Banyak perusahaan yang belum melakukan pelatihan di perusahaan, karena belum menyadari bahwa pelatihan di perusahaan tersebut merupakan bagian dari investasi guna mendukung kemajuan perusahaannya.
f. Rendahnya koordinasi pembinaan dalam penyusunan perencanaan tenaga kerja dan penyelenggaraan pelatihan antara pusat dan daerah, lebih banyak karena belum terbentuknya jaringan kerja antarlembaga/instansi, maupun sektor terkait.
g. Penempatan TKI ke luar negeri menghadapi permasalahan dalam koordinasi lintas sektor dan belum adanya aturan hukum yang jelas.
h. Pengembangan standardisasi dan sertifikasi kompetensi masih menghadapi beberapa kendala, antara lain lembaga penyelenggara sertifikasi belum terbentuk, serta asosiasi profesi yang diharapkan sebagai salah satu penyusun utama standardisasi kompetensi profesi dan penggerak dalam meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga kerja profesional ternyata sebagian besar belum siap.

2.2 Pengaruh Lingkungan Strategis
Penjelasan dari pengaruh lingkungan strategis ini mempunyai pengaruh perkembangan lingkungan strategis terhadap peningkatan kualitas tenaga kerja. Peningkatan kualitas sering diartikan sebagai peningkatan pendidikan umum maupun keterampilan. Crowford (1992) menjelaskan bahwa peningkatan kualitas manusia berhubungan langsung dengan transformasi karakteristik dasar masyarakat yang secara berturut-turut berubah dari masyarakat primitif ke masyarakat pertanian, industri dan berakhir dengan masyarakat berpengetahuan (knowledge based society).
Perjalanan peradaban umat manusia itu dapat pula dikaitkan dengan perkembangan teknologi komunikasi, sebagai sarana umat manusia untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Pada awalnya manusia berinteraksi dengan menggunakan sarana/prasarana wilayah laut/perairan, sehingga permukiman penduduk cenderung terkonsentrasi dan mempunyai akses ke wilayah laut/perairan, dalam wujud konsep seaport. Dengan berkembangnya revolusi hijau ke revolusi industri yang menuntut akses lebih cepat dari satu tempat ke tempat lain, menumbuhkan konsep landport. Tuntutan akan kecepatan yang semakin tinggi dengan prinsip oneday trip business menumbuhkan konsep airport. Memasuki masyarakat berpengetahuan yang tidak lagi menuntut interaksi secara fisik, tetapi cukup secara maya (virtual), menjadikan pola komunikasi umat manusia saat ini bersandar pada konsep teleport. Fenomena ini secara langsung berpengaruh pada pola pembagian pekerjaan (division of labor) dalam berbagai lingkup, baik global, regional, maupun nasional.
Dengan demikian perubahan bentuk masyarakat ini diawali oleh perubahan teknologi dan diikuti oleh perubahan ekonomi, struktur sosial, politik dan tentunya paradigma.(Richard Crowford, in The Era of Human Capital: The Emergence of Talent, Intelligence, and Knowledge as The Worldwide Economic Force and What it Means to Manager and Investors, Harper Collins, 1991, p6). Perubahan teknologi sederhana pada masyrakat primitif yang sumber ekonominya dari kegiatan berburu dan mengambil hasil hutan menjadi masyarakat pertanian dengan usaha yang menetap untuk memproduksi makanan. Pada perubahan teknologi yang semakin canggih kearah masyarakat industri menempatkan pusat konsentrasi ekonomi berubah menjadi kegiatan produksi barang secara masal yang telah terstandardisasi. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu pada masyarakat berbasis pengetahuan, karakteristik ekonomi berubah menjadi lebih terintegrasi secara global yang aktivitas sentralnya adalah memberikan pelayanan jasa yang berbasis pada kepemilikan atas pengetahuan.
Sejarah evolusi perekonomian dunia telah memperlihatkan adanya keterkaitan antara perubahan karakteristik ekonomi antara 1 negara dengan Negara lainnya. Hal ini dipicu oleh penemuan teknologi yang berjalan seiring dengan peningkatan pendidikan,keterampilan, dan produktivitas penduduk dan tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan teori: “New Endogenous Growth” yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara kemampuan penguasaan teknologi dengan akumulasi human capital khususnya melalui pendidikan formal atau melalui pengembangan keterampilan secara informal di tempat kerja.
Pada saat pendapatan dari sektor minyak menurun secara signifikan pada pertengahan tahun 1980an, Indonesia mencoba untuk menarik investor asing untuk meningkatkan pendapatan dari ekspor. Upah rendah dan tersedianya tenaga kerja yang berlimpah pada saat itu merupakan salah satu keunggulan komparatif bangsa sebagai alat promosi yang efektif untuk menarik investor. Pada saat itu kualitas tenaga kerja Indonesia juga telah meningkat dengan pesat sehingga merupakan daya tarik tambahan bagi masuknya investor, karena peningkatan pendidikan sering dikaitkan dengan peningkatan produktivitas pekerja. Pada saat ini, disamping aspek keamanan dan stabilitas politik, aspek produktivitas tenaga kerja telah menjadi salah satu indikator penting bagi investor untuk menanamkan modalnya. Dengan semakin mudahnya modal dan teknologi berpindah tempat, peningkatan kualitas tenaga kerja memiliki peran strategis dalam menarik maupun mempertahankan investor diindonesia. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa peningkatan kualitas tenaga kerja tentunya tidak terlepas oleh perkembangan lingkungan
Strategis baik pada tingkat global, regional, maupun nasional.

2.2.1 Peluang dan Kendala
a). Peluang
1. Perkembangan lingkungan strategis pada tingkat global, regional maupun nasional memberikan peluang yang besar untuk mempercepat dan mengembangkan kualitas tenaga kerja. Arus globalisasi memberikan dampak terhadap semakin mudahnya untuk mengadopsi dan menguasai teknologi ataupun manajemen.
2. Dengan semakin eratnya kerjasama pada tingkat regional memberikan manfaat yang cukup besar bagi terciptanya kerja sama yang saling menguntungkan pada seluruh aspek pembangunan terutama terhadap pembangunan sumber daya manusia.
3. Perbedaan jumlah ketersediaan dan potensi tenaga kerja pada Negara-negara di kawasan regional menciptakan peluang kesempatan kerja bagi Indonesia untuk sementara waktu. Perkembangan ekonomi yang cukup pesat dibeberapa Negara dikawasan regional menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tenaga kerja. Sebagai Negara yang surplus, Indonesia berpeluang untuk sementara waktu mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri baik untuk mengurangi penggangguran didalam negeri untuk maupun menciptakan devisa dari remittance yang dikirim ke dalam negeri sekaligus untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang didapat dari pengalaman kerja maupun interaksi sosial di luar negeri serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri.
4. Otonomi daerah menciptakan peluang bagi tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru dibeberapa propinsi yang memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah. Tumbuhnya sentra ekonomi baru ini dapat mempercepat peningkatan kualitas penduduk sekaligus tenaga kerja Indonesia karena pembangunan infrastruktur pendidikan formal maupun pelatihan kerja dapat dilakukan dengan bertopang pada kemampuan ekonomi daerah yang bersangkutan. Dampak dari pembangunan ini akan dapat dirasakan manfaatnya oleh provinsi-provinsi sekitarnya sehingga kegiatan peningkatan sumber daya manusia tidak perlu lagi terkonsentrasi di pulau jawa.



b). Kendala
1. Penduduk Indonesia tersebar dalam kondisi geografis kepulauan yang memiliki kondisi kekayaan alam dan struktur ekonomi yang berbeda. Keadaan ini mengakibatkan diperlukannya anggaran pembangunan infrastruktur yang cukup besar untuk dapat menghubungkan kegiatan ekonomi antar pulau secara efektif dan efisien. Keterbatasan anggaran pembangunan ini menghasilkan ketimpangan pembangunan antar pulau sehingga kualitas pembangunan dan konsentrasi ekonomi menjadi sangat berbeda.
2. Besarnya anggaran yang diperlukan untuk membangun infrastruktur ekonomi berdampak pada kecilnya anggaran pendidikan dan pelatihan yang dapat dialokasikan. World Development Indicators tahun 1999 memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan Negara yang memiliki anggaran terkecil untuk bidang pendidikan dibandingkan dengan Negara lainnya di ASEAN apalagi jika dibandingkan dengan Negara Jepang, Inggris dan USA.
3. Usaha untuk mendorong pengiriman tenaga kerja ke luar negeri belum disertai oleh pembekalan pengetahuan dan keterampilan serta perlindungan yang cukup untuk bekerja di luar negeri. Disamping itu, informasi yang dibutuhkan bagi calon TKI untuk bekerja di luar negeri masih dirasakan tidak memadai sehingga proses untuk recruitment masih membutuhkan proses yang panjang dan rawan manipulasi. Lemahnya pendataan juga mengakibatkan kegiatan perlindungan tidak efektif.

2.3 Tenaga Kerja diTengah Globalisasi
Sebagai anggota WTO (World Trade Organization: satu-satunya organisasi perdagangan dunia yang mengatur perdagangan antar Negara yang dibentuk pada tahun 1995), Indonesia yang telah meratifikasi keberadaan WTO melalui UU nomor 7 tahun 1994 tentunya harus mengikuti aturan-aturan yang telah menjadi komitmen seluruh anggota dan mengikuti negoisasi-negoisasi yang sedang berlangsung terutama perkembangan dalam perundingan bidang jasa. Oleh sebab itu Depnakertrans perlu terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi di WTO karena keputusan yang diambil dapat secara langsung berdampak pada masalah ketenagakerjaan terutama yang berhubungan dengan commercial presence dan Movement of Natural Person. Kedua modalitas supply ini berpengaruh langsung pada masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia serta sebaliknya pada pengiriman TKI keluar negeri. Dalam Horizontal commiiment Indonesia di WTO disebutkan bahwa untuk transaksi jasa harus mengikuti aturan ketenagakerjaan dan imigrasi yang berlaku di Indonesia, yang untuk saat ini hanya untuk direktur, manager, technical expert/advisor, atau yang disetujui untuk waktu 2 tahun dan perpanjangan 1 tahun, memiliki izin kerja dan izin tinggal, dan dapat dikenakan pajak TKA.
Hingga saat ini Indonesia telah menerima 19 request dari Negara lain untuk membuka pasar kerja yang lebih luas bagi tenaga kerja asing (intra-corporate transferee) yang hendak bekerja ke Indonesia. Namun hingga kini Indonesia belum juga mengajukan request ke Negara lain, walaupun beberapa profesi sudah mencoba untuk membuat request agar dapat diajukan pada negoisasi bulan oktober 2003. Disisi lain ada 50 negara telah memberikan komitmen offer kenegaraan anggota WTO lainnya, namun Indonesia juga belum dapat mempergunakan penawaran ini. Ketidaksiapan Indonesia dalam pengajuan request dan memberikan offer ke Negara anggota WTO lainnya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Indonesia belum memilki informasi mengenai potensi ketenagakerjaan untuk masing-masing profesi. Sehingga tidak diketahui seberapa besar TKI yang dapat dikirim ke luar negeri maupun dalam membuka pasar kerja dalam negeri bagi tenaga kerja asing, tetapi yang tidak mengganggu kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
2. Asosiasi profesi belum memilki standar kompetensi yang dapat digunakan secara nasional apalagi untuk tingkat internasional. Standar kompetensi nasional ini jika tersedia dapat berperan ganda yaitu sebagai alat penyaring masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia maupun untuk meningkatkan peluang tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri.
3. Indonesia belum memiliki suatu lembaga yang dapat memberikan akreditasi kepada lembaga diklat profesi maupun kepada profesi secara individu. Pada saat ini undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah mengamanatkan untuk membentuk suatu badan yang memilki fungsi tersebut diatas yang nantinya akan dinamakan sebagai Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), melalui peraturan pemerintah.
4. Regulasi Domestik di Indonesia masih perlu di pelajari dengan baik agar tidak melanggar komitmen Indonesia di WTO maupun dapat digunakan dalam jangka panjang karena jika sudah menjadi komitmen di WTO tidak dapat dirubah atau ditinjau kembali


2.4 Perdagangan Internasional di Bidang Jasa Tenaga Kerja Profesional
Keikutsertaan Indonesia dalam persaingan global dengan turut menandatangani berbagai kerjasama multilateral seperti AFTA, APEC, dan WTO/GATS tersebut merupakan salah satu strategi untuk memperluas pasar kerja dengan menempatkan tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama di sektor formal. Dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa konsekuensi pada meningkatnya jumlah pekerja migrant lintas-negara, menjadikan berlalu-lalangnya mereka itu sebagai jasa profesi yang diperdagangkan dalam konteks internasional.
Salah satu unsur dari perundingan perdagangan jasa dalam meningkatkan akses pasar Negara-negara anggota adalah melalui mekanisme request, yang negoisasinya dilakukan secara bilateral, dan offer yang negoisasinya dilakukan secara multilateral. Dalam proses negoisasi untuk mewujudkan kerjasama perdagangan jasa tenaga kerja profesi melalui mekanisme request/offer ini, pada akhirnya antara lain akan menyangkut masalah bagaimana membangun saling pengakuan (mutual recognition/MRA), terutama disektor formal.
Selama ini Indonesia belum bisa memanfaatkan secara maksimal mekanisme request sebagai respon dari offer yang diberikan Negara lain, terutama bagi program penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kondisi tesebut terjadi sebagai akibat dari sangat terbatasnya jenis-jenis keterampilan (skill) tenaga kerja Indonesia yang mendapat pengakuan dari Negara lain. Disisi lain dalam menghadapi request dari Negara lain, posisi offer Indonesia masih terbatas untuk mempertahankan diri, karena masih sangat sedikit profesi yang dapat disertifikasi kompetensinya.

2.4.1 Analisis dan Sintesis terhadap Persoalan
Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan kesempatan kerja diluar negeri yang paling bertanggung jawab sebenarnya adalah Asosiasi Profesi, yang mewakili profesi-profesi sejenis sebagai pengguna (user) dari program ini. Persoalannya adalah terletak pada apakah Asosiasi Profesi kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu sudah merupakan kewajiban pemerintah (Depnakertrans dan instansi Pembina teknis) untuk memberdayakan asosiasi-asosiasi tersebut dan menjadikannya sebagai mitra pemerintah dalam melakukan request terhadap Negara lain ataupun menjawab offer dari Negara lain.
Menyikapi dan menghadapi berbagai putaran perundingan WTO, Depnakertrans selaku leading sector berupaya memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan asosiasi profesi. Namun hingga saat ini diketahui bahwa asosiasi-asosiasi profesi tersebut belum mampu merumuskan request atau menjawab offer yang harus dilakukan pada akhir tahun 2004 ini. Asosiasi yang ada tersebut, selain dapat dikatakan belum mewakili profesi-profesi sejenis, juga belum bisa memenuhi kriteria yang dituntut untuk memperoleh pengakuan nasional dan internasional agar dapat melakukan request dan offer.
Di pihak lain, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa penempatan TKI di sektor formal tertentu ke beberapa Negara tertentu terus berlangsung, baik melalui jalur illegal maupun legal. Penempatan legal dalam hal ini berarti telah mendapat endorsement dari pemerintah secara bilateral (G/P to G/P) dalam berbagai bentuk seperti minute of meeting, joint statement, memorandum of understanding, atau joint agreement. Namun karena mekanisme bilateral yang di-endorsed oleh pemerintah-pun tidak atau belum didasarkan atas MRA, sehingga TKI yang ditempatkan tersebut kualifikasinya acapkali diturunkan (down-grated) dan atau perlindungannya tidak secara optimal dilakukan oleh Negara mitra dagang. Artinya TKI tersebut secara terselubung atau terbuka telah mendapat perlakuan yang diskriminatif. Dengan kata lain Negara mitra dagang Indonesia (Sepanjang menjadi anggota WTO) telah tidak memenuhi prinsip-prinsip yang didalam system perdagangan multilateral dikenal sebagai:
a. Most-favoured Nations (MFN), yaitu bahwa Negara-negara tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Artinya suatu perlakuan yang telah diberikan kepada suatu Negara harus juga diberikan kepada Negara-negara mitra dagang lainnya, serta
b. National Treatment, yaitu bahwa suatu Negara harus memberikan perlakuan yang sama terhadap barang dan jasa (termasuk tenaga kerja profesi) baik produksi lokal maupun impor,terutama setelah barang dan jasa (dalam hal ini TKI) tersebut memasuki pasar domestik.
Untuk dapat membuktikan adanya perlakuan yang diskriminatif tersebut antara lain dapat ditelusuri berdasarkan informasi dari pihak:
1. Perwakilan RI di Negara tersebut
2. PJTKI yang selama ini telah melakukan rekruitmen dan penempatan TKI ke Negara tersebut, dan
3. TKI yang bersangkutan atau LSM setempat yang berkepentingan dan mempunyai jaringan internasional. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk otokoreksi dalam penyiapan calon TKI serta untuk perumusan klasifikasi berbagai hambatan (barriers) yang perlu dirundingkan dengan Negara mitra dagang.
Dilain sisi memang kenyataan lapangan tersebut telah turut mengurangi beban pengangguran di dalam negeri, serta bahkan secara relatif telah mengangkat taraf hidup TKI yang bersangkutan dan keluarganya, tetapi peluang pasar kerja internasional masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal baik dari sisi jumlah maupun perlindungannya.

2.4.2 Alternatif Solusi
Bila tidak mampu maka secara teoritis Indonesia telah membuang peluang kesempatan kerja yang diberikan melalui mekanisme kerjasama perdagangan internasional tersebut. Maka Depnakertrans dalam melakukan request perlu membuat semacam road map penempatan TKI keluar negeri yang didasarkan pada 3 langkah yaitu:
a. Mempersiapkan Tenaga Kerja Profesional sebagai Potensi Supply
b. Memanfaatkan Diklat yang Tersedia sebagai Jembatan
c. Mengupayakan Perundingan untuk Memperoleh MRA
Paling tidak ada 5 aspek dalam merundingkan MRA tersebut yaitu:
1. Kerangka Kerja Kualifikasi Nasional (National qualification framework)
2. Standar Sertifikat Nasional (National Certificate Standart)
3. Sistem Pelatihan (Training System)
4. Sistem Sertifikasi (Certification System)
5. Institusi yang berwenang (Authority Body)






BAB 3
PENYELESAIAN MASALAH

3.1 Konsepsi Ketenagakerjaan Yang Diharapkan
3.1.1 Perencanaan Tenaga Kerja
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja, yang meliputi perencanaan tenaga kerja makro dan mikro. Melalui perencanaan tenaga kerja tersebut dapat dihasilkan berbagai signal-signal kondisi ketenagakerjaan baik menyangkut penyediaan tenaga kerja, kebutuhan tenaga kerja, dan sekaligus berbagai upaya yang harus dilaksanakan baik berupa kebijakan, strategi maupun program ketenagakerjaan dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara produktif dan remunerative.

3.1.2 Informasi Ketenagakerjaan
Informasi ketenagakerjaan yang berkaitan dengan penyediaan tenaga kerja, kesempatan kerja, penempatan tenaga kerja, mobilitas tenaga kerja, mobilitas tenaga kerja pelatihan kerja, produktivitas tenaga kerja, dan perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan dalam rangka penyusunan perencanaan tenaga kerja guna perumusan kebijakan dan program ketenagakerjaan yang diarahkan untuk pemecahan masalah ketenagakerjaan dan sebagai bahan layanan kepada para pengguna informasi ketenagakerjaan di dalam negeri dan diluar negeri. Akses untuk mendapatkan informasi harus lebih mudah dan cepat, sehingga para pengguna informasi ketenagakerjaan dapat mengetahui secara jelas dan transparan kondisi ketenagakerjaan yang di hadap saat ini tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu.

3.1.3 Pelatihan Kerja
Pelatihan kerja merupakan jembatan antara dunia pendidikan dengan dunia pekerjaan, yang mengandung persyaratan kerja. Oleh sebab itu tenaga kerja keluaran pendidikan umum perlu dilatih agar sesuai dengan persyaratan kerja tersebut, dan sekaligus dalam rangka pengembangan diri dan peningkatan kualitas kerja, sehingga pekerja mampu bekerja secara produktif. Dengan kata lain, latihan kerja sangat erat hubungannya dengan perkembangan profesionalisme tenaga kerja.
Pelatihan kerja harus mampu menjawab tantangan yang dihadapi tenaga kerja Indonesia. Dengan adanya proses globalisasi, pasar tenaga kerja berubah menjadi pasar global yang memungkinkan arus tenaga kerja baik kedalam maupun ke luar negeri tidak bisa lagi dihambat. Kita tidak bisa lagi menghambat tenaga kerja asing untuk bekerja diindonesia, dan demikian juga tenaga kerja kita selama memenuhi persyaratan pasar kerja juga tidak terhambat untuk dapat bekerja di negeri lain.

3.1.4 Standardisasi Profesi dan Sertifikasi Kompetensi
Hal terpenting dalam pengembangan standardisasi profesi dan sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja di setiap sektor adalah membangun jejaring kerja (networking) dengan instansi terkait agar didalam kurun waktu yang tidak lama tenaga kerja kita memiliki kompetensi kerja baik berstandar nasional maupun internasional.
Asosiasi profesi dan asosiasi perusahaan merupakan sumber daya yang memilki potensi yang dapat dijadikan basis didalam mengembangkan standardisasi profesi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Untuk itulah pelaksanaan standardisasi profesi dan sertifikat kompetensi dilakukan dengan mengikutsertakan asosiasi profesi dalam menyusun kerangka kualifikasi profesi tenaga kerja nasional (National Qualication Frame Work) dan standar kompetensi masing-masing sektor, serta secara bersama-sama dengan lembaga-lembaga uji kompetensi dalam melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi.

3.1.5 Penempatan Tenaga Kerja
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan melalui penempatan tenaga kerja didalam negeri dan luar negeri yang ditujukan untuk memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja (employment service) melalui mekanisme sistem antarkerja (antar lokal-antar daerah-antar Negara) yang didukung oleh sistem implementasi informasi pasar kerja dan bursa kerja secara terpadu, serta sistem pengendalian penggunaan tenaga kerja warga Negara asing pendatang dan penyiapan tenaga kerja Indonesia pengganti, baik dalam konteks hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja.
Penempatan kerja dalam konteks di luar hubungan kerja di arahkan pada pengembangan kewirausahaan yang saat ini dikenali dengan usaha mikro-kecil-menengah, sebagai bagian dari upaya pemerintah memerangi kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan program pemerintah lainnya adalah transmigrasi, yang memfasilitasi perpindahan penduduk secara sukarela guna meningkatkan kesejahteraannya kesuatu permukiman melalui penciptaan kesempatan kerja baru dalam rangka mendukung pembangunan daerah yang bersangkutan.
Masalah trade in services atau perdagangan jasa-jasa dalam persaingan global merupakan bidang baru yang selama ini tidak pernah ditangani oleh General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Perjanjian di bidang jasa-jasa tersebut sebagai hasil perundingan Uruguay Round yang dituangkan dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) pada tahun 2000 mempunyai cakupan yang kurang lebih sama luasnya dengan perjanjian GATT untuk bidang barang-barang yang mulai diterapkan pada tahun 1947.
Dalam masalah trade in services, bagi Negara berkembang terutama bagi Indonesia yang jumlah penduduknya besar, labour mobility merupakan tantangan tersendiri. Aspek mobilitas tenaga kerja ini sebagai bagian dari perdagangan jasa-jasa akan tetap menjadi kontroversi antara Negara maju yang ingin membatasinya dan Negara berkembang yang menganggap bahwa segmen bisnis ini merupakan kepentingannya.
Untuk itu perhatian dalam merumuskan konsepsi peningkatan kualitas tenaga kerja, yang didasarkan atas kondisi yang diharapkan, harus memperhatikan paradigma nasional (pembangunan manusia seutuhnya) dan lingkungan strategis, khususnya tantangan persaingan global, agar mampu menghasilkan tenaga kerja yang mampu bersaing baik didalam negeri maupun dliuar negeri, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi optimal terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Strategi yang ditempuh di prioritaskan pada pembenahan hal-hal sebagai berikut:
1. Perencanaan tenaga kerja yang konsepsional diarahkan pada terwujudnya system perencanaan pembangunan berbasis ketenagakerjaan baik pada tingkat nasional, daerah, sector, instansi pemerintah, dan perusahaan, dengan tujuan agar pemerintah dan pemda sesuai dengan kewenangannya masing-masing mampu merumuskan kebijaksanaan, strategis, dan program pendayagunaan tenaga kerja, yang diupayakan dengan metode regulasi/deregulasi, sosialisasi, dan dukungan sarana/prasarana.
2. Penyiapan informasi ketenagakerjaan yang diarahkan pada tersedianya data dan informasi ketenagakerjaan sebagai dasar perencanaan dan pendayagunaan tenaga kerja, dengan tujuan agar para pencari kerja dan penyedia lapangan kerja semakin dekat dalam dimensi waktu dan ruang, yang diupayakan dengan metoda regulasi/deregulasi, sosialisasi, dan dukungan sarana/prasarana.
3. Pelatihan kerja berbasis kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha yang diarahkan pada terbangunnya system pendidikan dan pelatihan yang berstandar internasional, dengan tujuan agar lulusannya mampu memanfaatkan/mengisi kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha baik di dalam maupun luar negeri, yang diupayakan dengan metoda regulasi/deregulasi, sosialisasi, dan dukungan sarana/prasarana.
4. Standardisasi profesi dan sertifikasi kompetensi yang diarahkan pada terstandardisasinya profesi dan tersertifikasinya kompetensi tenaga kerja yang di akui secara internasional dengan tujuan agar para tenaga kerja dapat bersaing memasuki pasar kerja global, yang di upayakan dengan metoda regulasi/deregulasi, sosialisasi, pemberdayaan, dukungan sarana/prasarana, diplomasi/perundingan.
5. Penempatan tenaga kerja didalam dan diluar negeri yang diarahkan pada meningkatnya kesejahteraan rakyat, dengan tujuan mengurangi pengangguran sebagai salah satu masalah nasional, yang diupayakan dengan metoda regulasi/deregulasi, sosialisasi, pemberdayaan, dukungan sarana/prasarana, penegakan hukum, diplomasi/perundingan.
Kunci utama diantara 5 strategi tersebut dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja untuk mampu menghadapi persaingan global terletak pada pelatihan kerja berbasis kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha serta standardisasi profesi dan sertifikasi kompetensi yang diakui secara internasional. Bila kedua hal tersebut tidak terpenuhi, maka jangan berharap tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dalam era globalisasi.
Pemerintah DPR serta Pemda dan DPRD perlu membangun komitmen dan visi nasional yang menempatkan peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai jiwa dan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk mengangkat harkat dan martabatnya dalam persaingan global. Dalam rangka itu dibutuhkan dukungan konkrit dalam perencanaan, pemrograman, dan pengangguran untuk pelaksanaan kegiatannya.

3.2 Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja
Kondisi perekonomian yang belum pulih seratus persen dan kurang kondusifnya situasi keamanan dan politik, telah menimbulkan sikap pesimistis dalam pemecahan masalah ketenagakerjaan dalam waktu dekat, khususnya menyangkut pemecahan masalah pengangguran dan menghadapi tantangan globalisasi di bidang ketenagakerjaan.
Walaupun kualitas tenaga kerja Indonesia sudah mengalami peningkatan (struktur pendidikan telah mengalami perubahan), pengaruhnya masih belum signifikan terhadap peningkatan kompetensi penciptaan kesempatan kerja dan menghadapi mobilitas tenaga kerja asing serta peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Untuk itu perhatian terhadap aspek kualitas sumber daya manusia harus menjadi titik sentral. Peningkatan kompetensi (keahlian, keterampilan, disiplin, dan etos kerja) sumber daya manusia harus ditingkatkan dengan pendekatan kompetensi internasional (international based).
Konsepsi peningkatan kualitas tenaga kerja dengan memperhatikan paradigma nasional (pembangunan manusia seutuhnya) dan lingkungan strategis akan mampu menghasilkan tenaga kerja yang mampu bersaing baik didalam negeri maupun di luar negeri yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi optimal terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat pada khususnya, dan pembangunan nasional pada umumnya. Sehubungan dengan itu aspek migrasi dan aspek perdagangan yang mempengaruhi upaya peningkatan daya saing tenaga kerja, perlu diintegrasikan dengan aspek perburuhan. Unsur-unsur dari ketiga aspek yang perlu diintegrasikan tersebut menjadi satu kesatuan kebijaksanaan dan strategi adalah administrasi kependudukan, keimigrasian, dan kemanusiaan (aspek migrasi); kompetensi, hubungan kerja, dan perlindungan (aspek perburuhan); serta transaksi dan pengalaman (aspek perdagangan).
Untuk mewujudkan konsepsi tersebut, maka kebijaksanaan yang perlu di tetapkan, strategi yang perlu diambil, dan upaya yang perlu ditempuh, dirumuskan sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan
“Peningkatan kualitas tenaga kerja yang berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya, dan diarahkan untuk memiliki kemampuan dan kompetensi yang berbasis daerah, nasional, dan internasional dalam rangka tercapainya kesejahteraan masyarakat dan suksesnya pembangunan nasional”.


2. Strategi
Dalam rangka mewujudkan kebijaksanaan tersebut, maka strategi yang dirumuskan sebagai satu kesatuan adalah:
a. Membangun komitmen dan visi nasional bahwa peningkatan daya saing tenaga kerja merupakan jiwa dan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam persaingan global.
b. Membentuk dan menempatkan tenaga kerja yang kompeten dan produktif untuk memanfaatkan kesempatan kerja yang terbuka didalam dan diluar negeri guna peningkatan kesejahteraan rakyat.
c. Membangun dan melaksanakan diplomasi ketenagakerjaan untuk mencari peluang pasar kerja di luar negeri.
d. Meningkatkan kerjasama internasional dalam perdagangan jasa tenaga kerja baik secara bilateral, basis regional, maupun multilateral melalui tahap mutual recognition agreement (MRA) menuju perdagangan bebas secara global.
e. Membangun sistem insentif dan disinsentif bagi asosiasi profesi jasa tenaga kerja agar tenaga kerja mampu bersaing dalam era globalisasi baik didalam maupun diluar negeri.














BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
a. Indonesia tidak dapat lagi hanya mengandalkan keunggulan komparatif nya di bidang jasa tenaga kerja dalam persaingan global, melainkan harus beralih ke keunggulan kompetitif yang didasarkan atas keunggulan komparatifnya yang bersifat unik karena preferensinya tertentu.
b. Rendahnya daya saing dan produktifitas tenaga kerja Indonesia sangat terkait erat dengan minimnya tingkat pendidikan penduduk, sebagai akibat dari terabaikannya upaya investasi sumber daya manusia pada masa-masa sebelumnya. Upaya ini diperparah dengan adanya akses otonomi daerah dalam memanfaatkan dan mengalihfungsikan fasilitas latihan kerja yang sudah menjadi kewenangannya.
c. Beratnya daya saing tenaga kerja Indonesia ini dalam menghadapi persaingan global juga tidak lepas dari hampir semua profesi tenaga kerja Indonesia belum memiliki standar profesi dan sertifikat kompetensi.
d. Semakin bebasnya perdagangan termasuk jasa tenaga kerja didunia, menjadikan semakin tingginya akses bagi Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang kelebihan tenaga kerja untuk memanfaatkan peluang kerja terutama di Negara-negara maju.
e. Besarnya beban pengangguran di dalam negeri karena laju pertumbuhan ekonomi yang tidak cukup berarti untuk menampung tambahan tenaga kerja baru dan luncuran jumlah pengangguran sebelumnya di satu sisi, serta tidak terisi lowongan kerja tertentu oleh tenaga kerja Indonesia karena lebih patut diisi oleh tenaga kerja asing di lain sisi, menjadikan mereka terdorong dan tertarik untuk bekerja ke luar negeri dengan berbagai cara, walaupun hanya berbekal pengetahuan dan keterampilan yang sangat minim untuk umumnya bekerja di sektor informal tanpa perlindungan yang memadai.




4.2 Saran
a. Persaingan global di bidang jasa tenaga kerja dan otonomi daerah perlu di persepsikan sebagai peluang, bukannya ancaman, untuk dimanfaatkan baik dengan terbukanya lapangan kerja diluar negeri maupun dengan dibangunnya daerah-daerah yang potensial dan tidak lagi harus terkonsentrasi di pulau jawa, sehingga sekaligus dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan.
b. Prasyarat yang perlu dan harus di penuhi terletak pada investasi sumber daya manusia di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja, yang didukung oleh pengembangan kewirausahaan serta usaha mikro, kecil dan menengah. Prasyarat berikutnya yang harus di penuhi dalam menghadapi persaingan global adalah standardisasi profesi dan sertifikasi kompetensi yang diakui secara internasional.
c. Untuk lebih kondusif dan sistemnya upaya meningkatkan kualitas tenaga ini, maka regulasi dan deregulasi terhadap berbagai ketentuan yang dibutuhkan merupakan suatu keharusan, yang sekaligus pula sebagai alat untuk menegakkan hukum bagi setiap bentuk pelanggaran terhadap penyalagunaan upaya tersebut.
d. Keberadaan dan berkembangnya teknologi informasi perlu dimanfaatkan dalam sistem informasi ketenagakerjaan sebagai bagian untuk upaya mewujudkan perencanaan tenaga kerja di seluruh sektor pembangunan.

1 komentar: